Halo para Gen X dan Millennials! Kalian yang jadi bos atau rekan kerja Gen Z di kantor, pernah nggak sih ngerasa, “Ini anak kok ngomongnya kayak chat WA, nggak ada ‘Pak’ atau ‘Bu’-nya?” atau “Lah, kok dia tiba-tiba bilang ‘kena mental’ pas disuruh revisi?”
Tenang, kalian nggak sendirian.
Gen Z sering dicap “kurang adab” atau “lembek” sama generasi di atasnya, terutama dalam budaya kerja yang masih menjunjung hierarki. Tapi jangan buru-buru nge-judge.

Di balik gaya komunikasi mereka yang lebih santai, ada keunggulan yang nggak bisa diremehkan—mereka kreatif, tech-savvy, dan multitasking kayak AI.
Masalahnya, mereka tumbuh di lingkungan yang beda jauh dari Gen X dan Millennials. Sosmed, algoritma, dan budaya digital bikin mereka terbiasa dengan dunia yang nyaman dan sesuai preferensi mereka sendiri.
Begitu masuk kantor? Boom! Mereka harus berhadapan sama dunia nyata yang isinya bukan cuma hal-hal yang mereka suka, tapi juga bos yang galak, deadline yang mepet, dan klien yang nggak selalu ramah.
Sosmed: Sekolah Tanpa Guru Buat Gen Z
Bayangin sosmed itu kayak pasar malam—semua orang bisa masuk, dari bocah SD sampai presiden, dan nggak ada aturan jelas soal hierarki.
Di dunia media sosial ini, nggak ada senioritas, semua orang bebas ngomong tanpa perlu nunggu giliran. Anak 12 tahun bisa komen, “Bapak bohong!” di postingan pejabat, terus lanjut main game tanpa ada risiko apapun.

Bandingin dengan era Gen X. Kalau dulu ada bocah yang nekat nyeletuk “Bapak bohong!” ke Soeharto, yaudah, selamat tinggal. Bisa-bisa langsung “menghilang” atau minimal ditegur keras sama orang sekitar. Makanya, mereka tumbuh dengan insting buat jaga omongan, apalagi ke orang yang lebih berkuasa.
Menurut The Guardian (2025), sebuah studi menemukan bahwa 68% Gen Z merasa lebih nyaman berkomunikasi melalui teks dibandingkan secara langsung, yang berdampak pada keterampilan sosial mereka di dunia kerja. Media sosial membuat keterampilan komunikasi Gen Z menurun karena mereka jarang berinteraksi secara langsung. Mereka terbiasa berbicara dengan cara yang lebih santai dan informal, tanpa memahami hierarki yang berlaku di dunia kerja.
Sementara itu, sebuah studi dari BINUS University Malang menunjukkan bahwa media sosial telah mengubah cara komunikasi generasi muda secara signifikan, membuat mereka lebih nyaman dengan percakapan digital daripada interaksi langsung.
Echo Chamber: Dari Kamar Kucing ke Kantor Penuh Biawak
Sosmed nggak cuma bikin Gen Z cuek sama hierarki, tapi juga “manja” sama dunia mereka sendiri.
Bayangin seorang Gen Z yang suka kucing. Dia nge-like video kucing, algoritma kasih dia lebih banyak konten kucing—dari meme, produk, sampai cara ngurus kucing. Ini kayak dia ngedekor kamar dari SD sampai kuliah full tema kucing. Nyaman banget.
Tapi pas kerja? Dia keluar dari “kamar kucing” itu dan masuk ke kantor—tiba-tiba ketemu biawak, anjing galak, bahkan T- Rex yang ganas dan bikin bingung.
Mereka nggak cuma ketemu hal-hal yang mereka suka, tapi juga yang mereka nggak suka—bos yang ngomel, tugas yang susah, deadline yang bikin stres.

Menurut NY Post (2024), algoritma sosial media menciptakan echo chamber yang memperkuat bias pengguna. Ini membuat Gen Z lebih sulit menerima kritik dan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang beragam.
Penelitian lain yang dikutip dari Kompasiana juga menunjukkan bahwa efek echo chamber dan filter bubble membuat generasi muda kurang terbiasa dengan perbedaan pendapat dan sulit menghadapi lingkungan kerja yang lebih beragam.
Gadget + Pandemi: Komunikasi Offline Nol
Menurut The Times (2025), pandemi memperburuk keterampilan komunikasi tatap muka Gen Z. Mereka jarang berinteraksi di dunia nyata.
Hal ini menyebabkan mereka lebih canggung saat berhadapan dengan atasan atau klien. Mereka sulit membaca ekspresi wajah, nada suara, atau gestur tubuh lawan bicara. Akibatnya, mereka sering terlihat kurang responsif atau salah menangkap maksud pembicaraan.

Contohnya, dalam sebuah perusahaan konsultan, seorang manajer senior memberikan feedback kepada seorang karyawan Gen Z mengenai presentasinya yang kurang persuasif.
Alih-alih menanyakan lebih lanjut atau berdiskusi, karyawan tersebut hanya menjawab “noted” dan terlihat enggan menerima kritik secara terbuka. Namun, setelah rapat selesai, ia mengirim pesan panjang di chat internal, menyatakan bahwa ia merasa terlalu ditekan dengan kritik tersebut.
Hal ini menunjukkan bagaimana Gen Z lebih nyaman menyampaikan perasaan mereka melalui teks dibandingkan komunikasi langsung.
Studi dari WISSEN: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora juga menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak pada keterampilan komunikasi interpersonal remaja. Ini nantinya mempengaruhi kemampuan mereka dalam dunia kerja.
Gen Z Kena Mental Setelah Dimarahi Bos
Menurut Gallup (2023), hanya 21% karyawan Gen Z yang merasa engaged di tempat kerja. Ini menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka belum sepenuhnya terhubung secara emosional dengan pekerjaannya.
Hal ini bisa berkontribusi pada persepsi negatif terhadap feedback dan tekanan kerja.
Banyak perusahaan mengeluhkan bahwa Gen Z kurang siap menghadapi dunia kerja dan sulit menerima kritik profesional, menurut Business Insider (2025).
Tekanan dari sosial media juga memperburuk kondisi ini. Ekspektasi dunia kerja yang “indah” di media sosial sering kali bertolak belakang dengan realita, membuat mereka lebih rentan terhadap stres dan kecemasan.
Di media sosial, sering muncul narasi seperti:
- “Kerja harus sesuai passion.”
- “Kerja tanpa stres itu mungkin.”
- “Cari bos yang kayak teman.”

Banyak juga yang melihat influencer sukses bekerja dari kafe estetik atau liburan sambil tetap produktif, tanpa menampilkan tekanan kerja sebenarnya. Padahal, di dunia nyata, kerja sering kali penuh dengan tuntutan, revisi mendadak, dan atasan yang nggak selalu pengertian.
Ketika realita nggak sesuai ekspektasi, banyak Gen Z merasa kecewa, stres, bahkan mempertanyakan apakah mereka berada di tempat yang benar. Akhirnya, mereka lebih cepat resign atau mengalami burnout karena merasa dunia kerja lebih sulit dari yang mereka bayangkan.
Bandingin dengan Gen X yang dulu juga sering kena marah bos. Bedanya, mereka nggak bisa curhat di story atau bikin posting penuh kode di Twitter.
Kalau kena semprot atasan, mereka punya dua pilihan:
- Nelen mentah-mentah omelan itu sambil merokok di pantry.
- Ngedumel di warung kopi sama teman-teman satu angkatan.
Setelah itu? Balik kerja seperti biasa, seakan nggak terjadi apa-apa.

Di era 90-an atau 2000-an awal, banyak karyawan junior yang menganggap kena marah sebagai “ritual” sebelum naik level. Mereka nggak punya pilihan selain belajar dari kesalahan tanpa banyak drama.
Misalnya, seorang staf administrasi salah ketik laporan keuangan dan dimarahin bosnya di depan semua orang. Apa yang dia lakukan? Besoknya, dia datang lebih pagi, ngecek ulang semua angka, dan memastikan nggak ada typo lagi.
Nggak ada curhat, nggak ada kode di media sosial—mereka fokus buat memperbaiki diri.
Sebagaimana disoroti dalam penelitian dari GoodStats.id, ekspektasi lingkungan kerja yang nyaman membuat Gen Z lebih sulit menerima kritik tanpa merasa “diserang.”
Trus Gimana Nih Pak Ustadz?
“It takes two to tango” Kata pak ustadz
Nah, supaya nggak main salah-salahan, kedua pihak bisa saling melakukan refleksi.
Untuk Gen X & Millennials (Atasan & Senior di Tempat Kerja)
- Berhenti pakai pola pikir “Saya dulu juga gitu.” Dunia berubah, cara kerja juga harus berubah.
- Feedback yang jelas, bukan sekadar marah-marah. Jelaskan kesalahan dengan solusi konkret.
- Beri kesempatan bicara, tapi tetap ada batasannya. Dengarkan ide mereka tanpa membiarkan diskusi ngalor-ngidul.
- Gunakan media komunikasi yang lebih efektif. Kombinasikan meeting langsung dengan platform digital.
- Jangan anggap semua yang mengeluh itu “cengeng.” Bedakan antara keluhan valid dan sekadar drama.

Untuk Gen Z (Karyawan Baru & Fresh Graduate)
- Belajar menerima kritik tanpa “kena mental.” Jangan langsung anggap bos toxic.
- Pahami ekspektasi sebelum masuk kerja. Jangan asal daftar tanpa tahu budayanya.
- Gunakan kebebasan dengan tanggung jawab. WFH bukan berarti bisa leha-leha.
- Bangun daya tahan mental. Dunia kerja itu keras, lo harus siap.
- Fokus pada solusi, bukan sekadar curhat. Kalau ada masalah, cari jalan keluar sebelum mengeluh.

Jadi, gimana menurut lo? Apakah lo setuju dengan analisis ini, atau lo punya pengalaman sendiri menghadapi tantangan generasi di dunia kerja? Yuk, share pendapat lo di kolom komentar.