Kalau lo seorang pejabat publik, ada satu kenyataan pahit dalam komunikasi publik yang harus lo terima: setiap kali lo buka mulut, jutaan rakyat Indonesia udah pasang kuda-kuda. Bukan buat dengerin solusi, tapi buat nungguin blunder lo yang berikutnya.
Kenapa? Karena melihat pejabat diwawancara di TV itu rasanya sama seperti melihat rombongan sound horeg lagi siap-siap manggung. Didengerin nggak ada gunanya, dicuekin tetap kedengeran juga, dan kita sudah tahu hasilnya cuma bakal bikin pusing.
Lihat saja contohnya. Harga cabai meroket jelang Lebaran di bulan Maret, solusinya dari pejabat di bulan Februari? Disuruh tanam sendiri—logika jenius, mengingat panennya baru bisa tiga bulan kemudian. Atau fenomena bendera One Piece yang ramai jelang 17-an? Alih-alih dirangkul, malah dianggap makar dan upaya memecah belah bangsa oleh para menteri dan pimpinan DPR.
Akibatnya, setiap kali pernyataan macam ini keluar, jutaan rakyat Indonesia kompak menepuk jidat. Kena mental. Bukannya dapat pencerahan, yang ada malah dapat darah tinggi.
Sentimen Publik Akibat Komunikasi Publik yang Buruk
Langsung di kepala rakyat muncul perasaan seperti terjebak dalam toxic relationship. Pemerintah jadi pasangan yang selalu curiga, menuduh, dan menganggap kita tidak becus. Muncul pertanyaan-pertanyaan sinis: Apa kita ini dianggap anak kecil yang harus disuapi dan tidak boleh punya pendapat? Apa mereka menganggap kita semua bodoh? Atau jangan-jangan, mereka sudah merasa super benar hanya karena punya kuasa?
Pada akhirnya, semua blunder ini akarnya sama: komunikasi publik tanpa persiapan.
Itu sama saja kayak nekat naik gunung pakai sandal jepit, nggak bawa bekal, dan nggak bawa tenda.
Kelihatannya pemberani, padahal cuma cari mati dan merepotkan tim SAR (baca: staf dan juru bicara yang harus membereskan kekacauan).
Ini bukan lagi soal krisis. Ini soal penyakit kronis dalam komunikasi publik kita. Sebuah penyakit yang membuat pejabat, secerdas apapun CV-nya, jadi terlihat konyol dan kehilangan trust dalam hitungan detik. Pernyataan yang harusnya menenangkan, malah menyulut api.
Oleh karena itu, kalau lo salah satu pejabat publik yang nasibnya dipertaruhkan setiap kali mulut terbuka di depan mikrofon, artikel ini adalah panduan komunikasi publik praktis untuk Anda.
Jalan Keluar dari Blunder: Sebuah Kerangka Berpikir
Anggap ini bisikan dari konsultan internal yang nggak akan basa-basi. Ada sebuah kerangka berpikir yang wajib lo hafal di luar kepala sebelum bicara.
Akronimnya sengaja dibuat provokatif biar nempel di otak: “MATI LO”.
Bukan, ini bukan sumpah serapah. Ini adalah wordplay untuk sebuah DNA kepemimpinan: Maaf, Akui, Tenang, Informasi, Libatkan, Optimis. Sebuah peta jalan untuk keluar dari kekacauan dengan kepala tegak.
MAAF
Langkah pertama untuk meredakan amarah. Tunjukkan empati dan akui keresahan publik sebelum memulai argumen apapun. Ini adalah tombol reset suasana.
AKUI
Ambil alih narasi dengan mengakui masalah secara spesifik dan teknis. Jangan ngeles atau menyederhanakan. Tunjukkan Anda benar-benar paham duduk perkaranya.
TENANG
Kendalikan temperatur diskusi. Nada bicara yang tenang dan data yang transparan adalah senjata paling ampuh melawan hoaks dan spekulasi liar di media sosial.
INFORMASI
Berikan publik sesuatu yang konkret untuk dipegang. Sajikan data yang relevan dan instruksi yang jelas agar mereka tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya
LIBATKAN
Ubah lawan menjadi kawan. Ajak pihak yang paling kritis untuk masuk ke dalam lingkaran diskusi dan menjadi bagian dari proses pencarian solusi.
OPTIMIS
Tutup krisis dengan sebuah visi masa depan. Alihkan fokus dari masalah yang sudah terjadi ke perbaikan dan harapan yang akan datang.
Kenapa Framework Ini Bukan Omong Kosong?
Namun, sebelum kita bedah, jangan samakan ini dengan tips motivasi murahan. Kerangka “MATI LO” berdiri di atas fondasi teori komunikasi yang sudah teruji puluhan tahun. Anggap saja teori-teori ini seperti jurus kungfu untuk lidah. Biar lo nggak asal “tonjok” saat bicara, tapi ada kuda-kudanya, ada aturannya.
- Image Restoration Theory dari William Benoit (1995) menggarisbawahi bahwa permintaan maaf (mortification) dan tindakan perbaikan (corrective action) adalah strategi paling ampuh.
- Situational Crisis Communication Theory (SCCT) oleh W. Timothy Coombs menegaskan respons harus sesuai dengan tingkat tanggung jawab. Makin besar salah lo, makin wajib lo minta maaf.
Jadi, setiap langkah dalam “MATI LO” adalah eksekusi strategis, bukan reaksi panik.
Dua Skenario Komunikasi Publik: ‘MATI LO’ dalam Aksi
Mari kita lihat bagaimana kerangka ini bekerja dalam dua skenario yang berbeda.
Studi Kasus #1: Menjawab Isu Budaya Pop (Bendera One Piece)
Bayangkan situasinya: Para pejabat tinggi sudah terlanjur menyebut fenomena bendera One Piece sebagai upaya memecah belah bangsa dan makar. Lalu jurnalis bertanya kepada Anda: “Bapak/Ibu, apakah pemerintah akan menindak tegas pengibar bendera ini?” Alih-alih ikut-ikutan panik, inilah cara seorang pemimpin menjawab.
- M (Maaf): “Pertama-tama, saya lihat semangat dan kreativitas anak-anak muda kita ini luar biasa. Saya ikut senang melihat semaraknya perayaan kemerdekaan dengan cara mereka. Kalau ada yang merasa antusiasme mereka jadi dikekang atau disalahpahami oleh pernyataan-pernyataan yang ada, saya bisa memahami itu.”
- A (Akui): “Saya mengakui bahwa baik yang mengibarkan Merah Putih maupun yang berekspresi dengan bendera ‘Nakama’ ini, di hatinya sama-sama cinta Indonesia. Hanya caranya saja yang berbeda. Ini adalah energi positif yang harus kita rangkul, bukan kita benturkan.”
- T (Tenang): “Secara aturan, tentu Bendera Negara Merah Putih memiliki kedudukan istimewa yang diatur UU No. 24 Tahun 2009. Itu adalah simbol pemersatu kita. Tapi kita juga harus jernih melihat hukum. Seperti kata ahli tata negara, UU tersebut tidak melarang pengibaran bendera lain selama posisinya tidak melecehkan atau lebih tinggi dari Merah Putih. Jadi mari kita dudukkan masalah ini pada proporsinya. Ini soal kreativitas, bukan makar.”
- I (Informasi): “Untuk itu, pemerintah tidak akan melakukan pelarangan yang represif. Kami hanya akan menggencarkan edukasi: silakan pasang atribut-atribut kreatif kalian, tapi pastikan Sang Merah Putih tetap dipasang di posisi yang paling utama dan dihormati, sesuai aturan. Itu saja. Mari kita tunjukkan kreativitas kita sambil tetap menghormati simbol negara.”
- L (Libatkan): “Saya malah mau menantang teman-teman komunitas One Piece. Ayo bikin lomba atau parade 17-an dengan tema ‘Nakama Merah Putih’. Tunjukkan bagaimana semangat persahabatan ala One Piece itu sejalan dengan semangat persatuan Indonesia. Kemenpora dan Kemenparekraf siap mendukung.”
- O (Optimis): “Fenomena ini menunjukkan bahwa patriotisme anak muda kita tidak mati, hanya bentuknya yang berevolusi. Mereka mengekspresikannya lewat budaya yang mereka cintai. Ini bukan ancaman, ini adalah kekayaan. Tugas kita adalah memastikan energi besar ini mengarah pada hal yang positif untuk Indonesia.”
Ini bukan ancaman, ini adalah kekayaan.
Tugas kita adalah memastikan energi besar ini mengarah
pada hal yang positif untuk Indonesia.

Studi Kasus #2: Menjawab Masalah Teknis Kebijakan (Harga Cabai Naik)
Selanjutnya, bayangkan jurnalis bertanya kepada Mendagri Tito Karnavian: “Bapak Menteri, bagaimana langkah pemerintah mengantisipasi kenaikan harga cabai jelang Ramadhan?” Alih-alih memberikan solusi yang tidak realistis, inilah cara menjawabnya.
- M (Maaf): “Pertama-tama, saya paham betul keresahan ibu-ibu dan seluruh masyarakat kita melihat harga-harga kebutuhan pokok, terutama cabai, yang mulai merangkak naik. Ini adalah beban riil, dan sebagai pemerintah, kami ikut merasakan kekhawatiran itu.”
- A (Akui): “Saya harus akui, masalah kenaikan harga ini adalah isu yang kompleks. Ini menyangkut rantai pasok, cuaca ekstrem, hingga distribusi. Tidak adil jika beban ini kita letakkan sepenuhnya di pundak masyarakat.”
- T (Tenang): “Berdasarkan data BPS yang kami pegang, kenaikan harga cabai merah memang sudah terjadi di 196 kabupaten/kota. Data kami menunjukkan penyebab utamanya adalah penurunan pasokan dari beberapa daerah sentra akibat curah hujan tinggi. Ini fakta lapangannya.”
- I (Informasi): “Karena itu, langkah jangka pendek yang menjadi prioritas kami sekarang adalah memastikan stabilitas pasokan. Saya sudah berkoordinasi dengan Kemendag dan Bulog untuk segera menggelar operasi pasar di titik-titik yang kenaikannya paling tinggi. Informasi lokasi dan jadwalnya akan kami umumkan setiap hari.”
- L (Libatkan): “Nah, untuk solusi jangka panjang, gerakan menanam di pekarangan rumah itu ide yang sangat baik untuk membangun ketahanan pangan keluarga. Pemerintah akan mendukung gerakan ini. Tapi saya tegaskan, ini untuk masa depan, bukan untuk mengatasi harga besok pagi. Untuk masalah besok pagi, itu tanggung jawab kami.”
- O (Optimis): “Tantangan harga seperti ini akan selalu ada. Tapi dengan kerja sama—pemerintah menjaga stabilitas pasokan, dan masyarakat ikut memperkuat ketahanan pangan keluarga—saya optimis kita bisa menjadi bangsa yang lebih mandiri. Kami akan bekerja keras agar Ramadhan tahun ini dapat kita jalani dengan tenang. Terima kasih.”
Kesimpulan: Komunikasi Publik Bukan Seni, Tapi Disiplin
Singkatnya, berhenti menganggap komunikasi publik sebagai bakat alam. Itu adalah sebuah disiplin. Sebuah otot yang harus dilatih, yang seringkali dimulai dari hal paling fundamental: menguasai komunikasi interpersonal dalam interaksi sehari-hari.
Kerangka “MATI LO” ini bukanlah obat dewa. Anggap ini seperti vaksinasi untuk lidah Anda. Perlu disuntik sekali (dipelajari), lalu diberikan booster secara berkala (dilatih terus-menerus) agar kebal dari penyakit “asal jeplak”.
Di dunia yang riuh ini, kepercayaan publik adalah aset paling mahal. Dan setiap kali lo membuka mulut, lo sedang mempertaruhkan aset tersebut. Jadi, sebelum konferensi pers berikutnya, sebelum wawancara doorstop, sebelum ngetwit iseng—berhenti sejenak.
tarik napas dan ingat “Pejabat harus ingat MATI LO”:
Maaf, Akui, Tenang, Informasi, Libatkan, dan Optimis.
.